Jingga Si Penyuka Senja

Oleh: Syifa Jazilah (X OTKP 1)

Pertemuan tak disengaja dan teramat indah di sebuah bukit belakang sekolah, dia datang dengan senyuman nya yang entah bagaimana dia mengukir senyum indah nan manis itu. Dia datang dan meneriakkan namaku dengan sebutan yang tak pernah orang lain katakan. "Jingga!" 

Ya, namaku memang diawali dengan kata Jingga, tepatnya Jingga Alfaril Muhammad. Orang orang biasa memanggilku Al atau Alfa, dan yang mereka ketahui dan lihat hanyalah seorang Alfaril si cowok humoris, tukang rusuh tapi pendengar yang baik, dan selalu bahagia. Tapi hanya dia seorang yang memanggilku Jingga. "Kamu itu indah layaknya senja. Seperti kata pepatah, senja itu mampu membius siapapun dengan jingganya, dan kamupun tak ada bedanya dengan senja, sama sama memberi kebahagiaan, itulah kenapa aku lebih suka memanggilmu Jingga" katanya. 

Awal dimana aku mengunjungi bukit itu hanya untuk sekedar merebahkan tubuh dan menenangkan diri, sekarang tujuanku hanya untuk melihat senja karena saat melihat senja tenggelam rasanya penatkupun ikut hilang dan tenggelam bersamanya. Rasanya amat sangat melegakan. Dia benar, ternyata senja benar benar pembawa kebahagiaan sekaligus ketenangan. Ucapan nya hari itu mulai membuatku mulai menyukai dan mengerti apa itu senja dan bagaimana senja itu memberi kebahagiaan.

Sejak saat itu, setiap sore hari kami selalu mengunjungi bukit belakang sekolah, hanya untuk sekedar berbincang dengan bertukar cerita hal apa yang dilalui hari ini disekolah, sambil menikmati senja dan menghirup udara segar di bukit indah ini yang dipenuhi rumput hijau yang lembut disertai bunga bunga kecil warna warni yang terlihat begitu indah dan juga sebuah pohon mangga ditengah hamparan rumput menjadikan angin yang menyapu halus wajah kami terasa menyejukkan. Dia selalu bercerita tentang bagaimana dia melewati hari harinya, bahkan hal yang tidak penting sekalipun dia tetap bercerita. Konyol memang, tapi aku menyukainya saat bagaimana dia bercerita dengan antusiasnya.

Suaranya, keceriannya, tawanya, senyumnya, menjadi candu yang ingin kulihat dan kunikmati setiap harinya. Rasanya tidak rela jika dia pergi dan harus berpisah setelah lulus nanti. Karena seperti kata orang, dimana ada pertemuan maka akan ada juga perpisahan.

Setahun sejak kami mulai saling mengenal satu sama lain, mati matian perasaan menjengkelkan ku tahan dengan sekuat hati, jiwa, dan raga. Aku berpikir sebelum mulai memberanikan diri menyatakan perasaan menjengkelkan ini. Karena yang kutahu, dia hanya mengganggapku sahabatnya dan tak mungkin mempunyai Perasaan yang sama. Perasaan nyaman saat melihat dan bersamanya, apa dia juga merasakan hal yang sama? Apa dia hanya mengganggapku sebagai teman bercandanya, sahabatnya, teman curhat dan sandarannya saja dikala ia sedih?

Dia, Reshna Agatha Pricilla, perempuan feminim yang suka dipanggil Rere, orang pertama yang berhasil menghancurkan benteng pertahanan perasaan yang selama ini kutahan agar tidak menimbulkan sebuah rasa yang kusebut dengan perasaan menjengkelkan.

Aku terus berpikir apakah dia datang untuk singgah apa hanya untuk bertamu? Namun, yang biasanya seorang tamu lakukan saat ingin berpisah, ialah memberikan kesan terbaik perpisahan. Tapi dia pergi tanpa meninggalkan jejak, seakan hilang terbenam bersama senja saat akan mulai menghilang.

Dia yang membuatku menyukai senja, dia juga yang membuatku membencinya, tidak, tidak benci. Tepatnya, rasa akan trauma yang selalu ada dan entah kapan akan hilang jika bayangannya saja terus berada didalam memori yang berjudul "kenangan indah". Percakapan terakhir bersamanya di hari itu, yang menjadi hal yang paling melegakan dan membahagiakan sekaligus kepedihan dan kehilangan.

                                **

"Stop jadi badut, dan buat definisi bahagia kamu sendiri tanpa harus selalu orang lain yang kamu buat bahagia,"  katanya dengan nada pelan yang masih bisa kudengar.

"Ck, bahagianya mereka sama dengan bahagianya gue" kataku dengan nada yang sedikit kesal.

Dengan sedikit menghembuskan nafas kasar, dia menjawab "Stop bilang bahagianya mereka bahagia kamu juga, gak cape?"  Ujar Rere, dengan suara yang masih pelan.

Jingga terkekeh pelan, "Berperan sebagai badut itu menyenangkan, asal kita melakukannya dengan tulus"  sahutku, dengan senyuman lebar diakhir kata.

"Jingga, si cowok humoris penyuka senja yang cuma ingin mendengar dan menjadi sandaran bagi mereka yang tengah menghadapi berbagai ujian hidup, kamu memang pendengar yang baik Ga, tapi aku yakin kamu juga ingin didengar. Kamu begitu luar biasa, layaknya senja yang selalu menepati janji untuk datang kembali dan tak pernah ingkar, tapi satu hal yang harus  kamu tau, suatu saat senja mulai terbenam, ada kalanya dia bersedih dan menumpahkan semua air mata yang selama ini hinggap dipelupuk matanya. Aku sahabat baikmu kan? kamu juga perlu dan butuh didengar, dan aku siap jadi pendengar yang baik buat kamu, Jingga".

Aku termenung mendengar perkataannya, memang benar setiap manusia pasti menghadapi lika liku kehidupan, disaat orang lain mengenalku sebagai Alfaril yang cahaya kehidupannya dipenuhi dengan kebahagiaan, mereka tidak tau, dan tak akan pernah tau bahwa cahaya itu telah redup sedari dulu. 

Percakapan yang terasa singkat hari itu adalah hari dimana aku menumpahkan semua kesedihanku yang selama ini terpendam begitu dalam. Senja menjadi saksi atas cerita permasalahan piluku pada Rere waktu itu. Sampai akhirnya, aku sadar bahwa saat aku dengan sengaja menceritakan kesedihan ku yang tak pernah sedikitpun tersirat dalam pikiranku untuk menceritakannya kepada orang lain itu berarti perasaan nyaman dari saat pertama kali bertemu itu bukan sekedar perasaan yang hinggap begitu saja secara tiba tiba saat sedang dekat dengannya, melainkan rasa kepercayaan yang kuat kepadanya, perasaan nyaman yang abadi dan ingin terus bersamanya.

Menatap senja sambil berbincang dengannya aku merasakan sebuah kenyamanan dan kebahagiaan yang berlipat ganda. Sampai diakhir senja mulai tenggelam dia mengatakan "Aku benar, gak ada manusia yang baik baik saja, semua orang akan menghadapi pahitnya dunia. Sakit hati, bangkit, sakit hati lagi. Begitulah manusia hidup, melewati hari demi hari dimana selalu akan ada suka dan duka. Tapi satu hal yang bikin aku salut, sepahit pahitnya masalah yang kamu hadapi, kamu gak pernah terjebak di dalam jurang kegelapan. Sampai orang lain pun seakan menganggap kamu manusia yang paling bahagia".

"Mereka hanya berspekulasi dari apa yang mereka lihat Ree, nyatanya, mereka hanya tau dari luar saja dan tak pernah mau tau kenyataannya. Ree, saat menghadapi berbagai ujian hidup itu hadapi dengan senyuman dan keikhlasan, dan serahkan semuanya ke Tuhan, meskipun sangat sakit, setidaknya perasaan dalam mengingat Tuhan itu harus selalu ada, maka saat mengingat Tuhan, ketenangan akan kita dapatkan"

"Dari jadi tempat curhat orang lain itu buat aku sadar, bahwa orang lain punya masalah yang lebih pedih dan rumit, gak adil kalo aku merasa jadi manusia paling menyedihkan di bumi"

Namun, secara tidak sadar, saat kami mulai bercanda ria kembali agar suasana mencair dan tidak membeku karena topik percakapan yang terlalu dalam mode serius itu, aku malah menyatakan perasaan menjengkelkan itu dihadapannya. Diakhir kalimat itu membuat mulutku kelu tak bisa berkata kata dengan retina mata kami yang secara tidak sengaja saling bertatapan. Tatapannya yang dapat kubaca menandakan dia bertanya tanya seakan yang kukatakan tadi itu apa hanya bagian guyonan semata atau nyata.

Senja yang hampir terbenam, rintikan hujan mulai berjatuhan membasahi 2 insan yang masih diam mematung hingga Rere yang menyudahi tatapan mereka lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun. 

Percakapan terakhir  itu menjadi kebahagiaan sekaligus kepedihan. Bahagia karena perasaan lega setelah bercerita masalah hidup yang selama ini kupendam, dan kepedihan karena dengan bodohnya mengatakan perasaan menjengkelkan itu tanpa sadar.

Seharusnya, Aku tau bahwa dengan mengatakan hal itu, aku akan kehilangan sosok sahabat yang tulus seperti dia.

                                ***

Rasa sakit di hari itu, rasa pedih di hari itu tak pernah lepas dari pikiranku, tepatnya 1 tahun yang lalu setelah kepergiannya, yang seharusnya menjadi kebahagiaanku malah menjadi sebuah tragedi yang tak di duga, yang membuatku drop, yang membuat hatiku hancur berkeping keping, membuatku ingin menjerit sekencang kencangnya, membuatku merasa bersalah, membuatku tak bisa berkata kata, membuat dadaku sesak dan sakit, membuat cairan bening di mataku keluar tak henti hentinya, membuat duniaku menjadi gelap dan membuatku menjadi trauma.

Suasana sore hari yang tenang disertai semilir angin yang berhembus pelan nan sejuk membuat pikiran berkalut dalam mengingat rekaman memori kelam yang masih bersarang sebagai bentuk masa lalu.

Disini, masih ditempat yang sama namun dengan suasana yang berbeda karena disini hanya bayangan yang menemaniku menikmati senja dan bukan dia. 

Sore ini, di bukit yang jauh dari keramaian ini, aku dapat melihat orang-orang yang berlalu lalang naik masuk kendaraan umum tanda mereka telah mengakhiri aktivitas mereka hari ini.

Disini, disamping pohon mangga yang rimbun dipenuhi dedaunan, aku duduk termenung menunggu senja dan dengan diam menatap ke langit melihat burung burung yang beterbangan kesana kemari. 

Tiba tiba seseorang menepuk bahuku dari belakang, saat berbalik menghadap sipelaku, Aku terkejut dan ingin marah. Tidak, bukan marah dan ingin bertanya mengapa dia pergi, tapi kenapa dia pergi tanpa memberikan kesan terbaik perpisahan? Aku masih diam dan enggan mengeluarkan suara terlebih dahulu, pikiranku masih berkecamuk dan bertanya tanya. Sampai akhirnya dia mengatakan sesuatu yang malah membuatku semakin bertanya tanya.

"Maaf, Jingga."  Ujarnya, sambil menundukkan kepala.

"Untuk?, Bukannya harusnya aku yang meminta maaf karena telah mengatakan hal itu dan membuatmu pergi?" Sahutku.

"Ada hal yang harus kamu tau".

"Apa?"

"Aku lebih dulu menyukaimu, selalu dekat denganmu dan menjalin persahabatan sudah cukup membuatku senang dan bahagia tanpa perlu menjelaskan secara detail perasaan apa yang membuatku selalu ingin bersamamu. Aku terkejut saat kamu mengatakan hal itu, antara senang dan bimbang karena aku saja tidak berani mengatakan hal itu karena aku lebih takut jika itu kulakukan maka persahabatan kita akan hancur, kupikir, kamu gak mungkin mempunyai perasaan yang sama." Ucapnya, sambil menatapku dengan tulus.

Aku mengerti, 2 tahun yang lalu, saat kita pertama kali bertemu dia hanya penasaran seperti apa rapuhnya seorang cowok yang selalu ingin terlihat baik baik saja saat menghadapi ujian hidup. Ternyata, ada juga manusia yang paham bahwa orang yang terlihat baik baik saja belum tentu dalamnya sama. Dan ternyata setelah kenal dekat cukup lama, dia juga merasakan rasa nyaman yang sama bahkan pikiran alasan yang sama jika mengatakan itu maka hal buruk akan terjadi. 

"Pergi tanpa alasan? Apa ada hal yang perlu dijelaskan lagi?" Tanya Jingga.

"Bukan tanpa alasan, hanya saja aku butuh waktu untuk mencerna apa yang kamu katakan itu apa benar benar nyata? Aku perlu waktu untuk kembali dan memastikan hal itu untuk mencegah potensi sakit hati, awalnya kupikir saat aku kembali apa kamu akan masih mengunjungi bukit ini dan kembali bersamaku menikmati indahnya senja. Aku mengerti dan paham bahwa rasa itu benar benar nyata, karena tidak mungkin orang sepertimu yang biasa menjadi pendengar tiba tiba ingin didengar dan yang menjadi tempat pendengar yang baikmu itu, Aku"

Seakan rasa penyesalan, trauma, dan kesedihan itu perlahan menghilang dan berganti dengan kebahagiaan. Aku tersenyum simpul dan berkata "Kita sama sama saling mengerti, maukah kamu tetap bersamaku sampai akhir kisah kita selesai?" 

Dengan pelan dia mengangguk dan menjawab "Ya" sambil mengukir senyum indah itu yang sudah lama tak kulihat dan sangat ku rindukan. Ku tatap mata dan ku genggam tangannya dan beralih menatap senja yang indah. Lagi lagi, senja menjadi saksi kebahagiaan ku yang nyata. 

"Terimakasih, senja" Gumamku, senang.

Pada akhirnya kita kembali bersama, sebagai dua orang yang lebih dari sekadar sahabat.


~TAMAT

Ditulis oleh penulis pemula yang baru mengenal tulisan:) Ini murni karangan dan imajinasi saya, mohon maaf apabila ada kesamaan nama tokoh, kesalahan kata atau kalimat yang kurang dipahami.

Posting Komentar untuk "Jingga Si Penyuka Senja"